Mengapa Ilmu Pengetahuan di Barat Melonjak, Sementara Umat Islam Tertinggal?

**Mengapa Umat Islam Tertinggal dalam Ilmu Pengetahuan?**

Pagi itu, saat menjelang salat berjamaah, saya mengajukan sebuah pertanyaan kepada suami saya: "Mengapa umat Islam mundur sementara umat lain, seperti Barat, justru maju pesat?" Dengan santai, suami saya menjawab bahwa ini adalah pertanyaan yang sudah sangat lama dipertanyakan, bahkan pernah disampaikan oleh seorang kyai di pesantren tempat suami saya dulu belajar di Yogyakarta. Menurutnya, orang Muslim dan non-Muslim memiliki paradigma yang berbeda dalam memandang dunia. Jika non-Muslim lebih fokus pada kemajuan duniawi, itu wajar karena orientasi hidup mereka memang hanya terbatas pada urusan dunia. Sementara itu, orientasi hidup Muslim meliputi dunia dan akhirat, sehingga wajar bila kemajuan umat Islam tidak sepesat umat lain. Jawaban suami saya ini, meskipun normatif, mencerminkan pemahaman yang sudah lama tertanam dalam diri sebagian besar umat Islam.

Pertanyaan mengapa umat Islam mundur sebenarnya bukanlah hal baru. Syakib Arslan, seorang cendekiawan Muslim, pernah menulis tentang hal ini dalam bukunya "Limadza ta’akhkhara l-muslimuna wa limadza taqaddama ghayruhum?" yang berarti "Mengapa Muslim Mundur dan Umat Lain Maju?". Arslan mengidentifikasi beberapa penyebab kemunduran umat Islam, seperti kebodohan, ilmu yang setengah-setengah, kemalasan, kurangnya semangat berkorban, serta hilangnya etos kerja dan keberanian. Meskipun pertanyaan ini muncul dalam konteks kolonialisme, faktor-faktor tersebut masih relevan hingga kini. Sebagian besar umat Islam masih terjebak dalam pemikiran bahwa agama hanya berkutat pada urusan akhirat, sehingga mengabaikan pentingnya kemajuan duniawi.

Pandangan seperti ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Banyak yang masih memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum, seolah-olah ilmu umum tidak ada hubungannya dengan akhirat. Padahal, jika kita menilik sejarah, kejayaan umat Islam di masa lalu justru dimulai dari perhatian mereka terhadap ilmu pengetahuan, terutama sains. Ilmuwan Muslim pada abad ke-9 hingga ke-14 memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan sains modern. Namun, saat ini, ilmu-ilmu kealaman sering kali diabaikan oleh kaum Muslim, bahkan ada yang menganggapnya sebagai ilmu orang kafir.

Salah satu penyebab lain kemunduran umat Islam adalah ketergantungan yang berlebihan pada figur otoritas, seperti ulama atau kyai. Ijtihad keilmuan sering kali dianggap final dan tidak perlu diinterpretasikan ulang. Akibatnya, pintu ijtihad tertutup rapat, dan pemikiran agama menjadi statis. Pemikiran keagamaan yang mencoba menyelaraskan agama dengan semangat zaman kerap kali dianggap sesat atau liberal, seperti yang dialami oleh tokoh pembaharu dari Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd.

Fanatisme terhadap tokoh tertentu juga berdampak luas dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pandangan agama tradisional mungkin menganggapnya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Namun, sains memandangnya sebagai masalah kesehatan mental yang memerlukan penanganan khusus. Di sinilah pentingnya sikap ilmiah dalam menghadapi berbagai persoalan. Sikap religius bukan berarti menyerahkan semua urusan kepada Tuhan tanpa usaha, melainkan berusaha memahami tanda-tanda Tuhan melalui pendekatan ilmiah.

Selain itu, umat Islam juga perlu belajar dari bangsa lain yang mampu menyerap perkembangan zaman tanpa kehilangan identitasnya, seperti Jepang dan Korea Selatan. Ilmu pengetahuan modern telah membantu meningkatkan kualitas hidup manusia, dan umat Islam perlu menyikapi tantangan-tantangan zaman, seperti teori evolusi, kosmologi modern, dan teknologi rekayasa genetika, secara kritis dan progresif. Integrasi antara agama dan sains perlu dipahami sebagai bentuk ijtihad nyata di era modern.

Bangkitnya semangat untuk mempelajari ilmu-ilmu teknologi modern adalah bagian dari dakwah dan ijtihad di dunia yang terus berkembang ini. Umat Islam perlu memahami bahwa memajukan ilmu pengetahuan adalah bagian dari tanggung jawab mereka sebagai khalifah di muka bumi. Dengan demikian, umat Islam tidak hanya dapat mengejar ketertinggalan, tetapi juga berperan aktif dalam membangun peradaban yang lebih maju dan berkeadilan.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *