Pencak silat di Indonesia tidak hanya dikenal sebagai seni bela diri yang menonjolkan ketangkasan dan teknik pertarungan, tetapi juga sebagai warisan budaya yang sarat nilai spiritual dan sosial. Dalam banyak perguruan silat, kegiatan tahlilan—yakni doa bersama, pembacaan tahlil, dan dzikir untuk mendoakan arwah leluhur atau anggota yang telah wafat—menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tradisi mereka. Praktik ini bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan juga simbol kebersamaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Menurut Mas’ari dan Syamsuatir (2021), tahlilan merupakan bentuk akulturasi antara ajaran Islam dan budaya lokal yang mengedepankan nilai solidaritas, penghormatan kepada leluhur, serta kepedulian terhadap sesama. Dalam konteks pencak silat, nilai-nilai tersebut selaras dengan falsafah dasar silat yang menekankan keseimbangan antara jasmani dan rohani, serta membentuk pribadi pesilat yang berkarakter, rendah hati, dan berjiwa sosial. Melalui tahlilan, komunitas silat belajar untuk memperkuat rasa persaudaraan, saling membantu, dan menghargai setiap kehidupan.
Abdullah (2018) menjelaskan bahwa unsur spiritual dalam pencak silat memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan antara kekuatan fisik dan kedewasaan mental. Dzikir dan doa yang dilafalkan dalam kegiatan tahlilan menanamkan kesadaran bahwa kekuatan sejati tidak hanya bersumber dari kemampuan fisik, tetapi juga dari kedekatan batin dengan Tuhan. Kegiatan tersebut menjadi sarana bagi para pesilat untuk menata niat, menumbuhkan keikhlasan, dan menumbuhkan disiplin batin yang berdampak positif terhadap perilaku mereka di luar gelanggang.
Selain dimensi spiritual, tahlilan juga memiliki fungsi sosial yang sangat kuat. Arifin (2020) menegaskan bahwa kegiatan keagamaan kolektif seperti tahlilan berperan penting dalam memperkuat social bonding di masyarakat, yaitu hubungan emosional dan rasa kebersamaan antaranggota komunitas. Dalam lingkungan pencak silat, ketika perguruan mengalami duka atau memperingati jasa guru besar, tahlilan menjadi momentum kebersamaan yang mengajarkan empati, kesetiaan, dan tanggung jawab sosial. Nilai-nilai inilah yang memperkokoh identitas perguruan dan menjaga kekompakan antaranggota.
Lebih jauh, Rahman (2021) menemukan bahwa praktik keagamaan yang terintegrasi dengan budaya lokal, seperti tahlilan dalam pencak silat, berkontribusi besar terhadap pembentukan karakter remaja dan pencegahan perilaku negatif. Kegiatan ini secara tidak langsung menjadi wadah pendidikan moral yang efektif, karena mengajarkan nilai-nilai luhur seperti kesabaran, rasa hormat, dan kepedulian sosial dalam bentuk pengalaman nyata. Melalui tahlilan, generasi muda pesilat belajar bahwa kekuatan bukanlah untuk menyombongkan diri, tetapi untuk melindungi, membantu, dan memberi manfaat bagi sesama.
Dengan demikian, budaya tahlilan dalam pencak silat merupakan cerminan harmonisasi antara spiritualitas, moralitas, dan solidaritas sosial. Ia menjadi ruang bersama bagi para pesilat untuk belajar tentang kehidupan, kematian, dan nilai kemanusiaan yang universal. Pencak silat tidak lagi hanya dimaknai sebagai seni bela diri, melainkan juga sebagai jalan spiritual dan sosial untuk membentuk pribadi yang berani, bijaksana, dan berakhlak. Dalam semangat kebersamaan itu, tahlilan menegaskan bahwa warisan budaya Indonesia tidak hanya melatih tubuh, tetapi juga menumbuhkan jiwa yang penuh kasih dan ketulusan. Seperti pepatah lama dalam dunia silat, ngalap berkah, nguri-uri tradisi, lan nguwongke uwong—menghormati sesama dan menjaga keseimbangan antara jasmani dan rohani—menjadi inti nilai luhur yang terus dijaga oleh para pesilat Nusantara.
Sumber :
Abdullah, M. (2018). Spiritual and Physical Aspects in Cultural Sport “Pencak Silat”. Universitas Diponegoro.
Arifin, Z. (2020). Tradisi Keagamaan dan Solidaritas Sosial Masyarakat Jawa. Jurnal Sosiologi Reflektif, 14(2), 219–232.
Mas’ari, A., & Syamsuatir, S. (2021). Tradisi Tahlilan: Potret Akulturasi Agama dan Budaya Khas Masyarakat Jawa. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 10(1), 33–42.
Rahman, M. (2021). Integrasi Nilai Keagamaan dan Budaya Lokal dalam Pembentukan Karakter Remaja. Jurnal Pendidikan Islam, 12(3), 155–170.

Komentar